Bismillahirrohmaanirrohiim

Imam Al Bukhari Bermadzhab Syafi’i

Belakangan ini sekarang banyak yang mengatakan kita Isllam tidak Perlu Bermadzhab. alasannya karena di Zaman Rosullah tidak ada Madzhab, orang yang mengikuti madzha adalah pelaku Bid'ah  !!


Jangan dikira bahwa madzhab itu hanya untuk orang-orang awam saja, bahkan para ulama besar pun juga bermadzhab. Di dalam kitab “Al-Imam Asy-Syafi’i”, Bainal Madzhabihil Qadim wal Jadid”, Dr. Nahrawi Abdussalam menuliskan bahwa di antara para pengikut mazhab Syafi’i adalah Al-Imam Al-Bukhari, seorang tokoh ahli hadits yang kitabnya tershahih di dunia setelah Al-Quran.

Al-Bukhari memang tokoh ahli hadits dan paling kritis dalam menyeleksi hadits. Namun beliau bukan ahli ijtihad yang mengistinbath hukum sendiri sampai setingkat mujtahid muthlaq. Dalam masalah menarik kesimpulan hukum, beliau menggunakan metodologi yang digunakan dalam madzhab Syafi’i. Dengan demikian, beliau adalah salah satu ulama besar yang bermadzhab, yaitu madzhab Syafi’i.

Ada juga di antara murid madzhab As-Syafi’i yang kemudian naik derajatnya sampai mampu menciptakan metodologi istinbath sendiri, sehingga beliau kemudian mendirikan sendiri madzhabnya, yaitu Imam Ahmad bin Hanbal. Marahkah As-Syafi’i mengetahui muridnya mendirikan madzhab sendiri? Beliau berkomentar, “Aku tinggalkan Baghdad dan tidak ada orang yang lebih faqih dari Imam Ahmad bin Hanbal.” Bahkan Imam Syafi’i juga pernah menimba ilmu hadits kepada Imam Ahmad bin Hanbal. Guru jadi murid, murid jadi guru. Begitulah para ulama, mereka tidak malu menimba ilmu bahkan kepada muridnya sendiri.

Ketetapan wajib bertaqlid bagi orang yang belum sampai derajat mujtahid adalah berdasar:
1. Dalil Al-Qur’an Q.S. an-Nahl: 43:

فَاسْأَلوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
“Bertanyalah kalian semua kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui.”



Dan sudah menjadi ijma’ ulama bahwa ayat tersebut memerintahkan bagi orang yang tidak mengetahui hukum dan dalilnya untuk ittiba’ (mengikuti) orang yang tahu.
Dan mayoritas ulama ushul fiqh berpendapat bahwa ayat tersebut adalah dalil pokok pertama tentang kewajiban orang awam (orang yang belum mempunyai kapasitas istinbath [menggali hukum]) untuk mengikuti orang alim yang mujtahid.

senada dengan ayat diatas didalam Qur`an surat At-Taubah ayat 122;

فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.( 122)
Pada hakikatnya orang yang tidak mau bermadzhab pada salah satu madzhab empat (Maliki. Hanafi, Syafi'i dan Hanbali) juga bermadzhab pada yang lain atau pada hawa nafsunya sendiri dengan merumuskan Quran Hadits sesuai kehendaknya, lebih percayakah kita pada kemampuan agama kita atau pada para Imam madzhab.. ?

ومن لم يقلد واحدا منهم وقال أنا اعمل بالكتاب والسنة مدعيا فهم الأحكام منهما فلا يسلم له بل هو مخطئ ضال مضل سيما في هذا الزمان الذى عم فيه الفسق وكثرت الدعوى الباطلة لأنه استظهر على أئمة الدين وهو دونهم
في العلم والعمل والعدالة والاطلاع

"Dan barangsiapa yang tidak mengikuti salah satu dari mereka (Imam madzhab) dan berkata "saya beramal berdasarkan alQuran dan hadits", dan mengaku telah memahami hukum-hukum alquran dan hadits maka orang tersebut tidak dapat diterima, bahkan termasuk orang yang bersalah, sesat dan menyesatkan terutama pada masa sekarang ini dimana kefasikan merajalela dan banyak tersebar dakwah-dakwah yang salah, karena ia ingin mengungguli para pemimpin agama padahal ia di bawah mereka dalam ilmu, amal, keadilan dan analisa".
Tanwiir alQuluub 74-75